Selamat Datang di Weblog Jurusan dan Alumni Sejarah Unand.

Kebersamaan adalah semboyan kita!

Kemajuan adalah cita-cita kita.

PADA AKHIRNYA

Silaturahmi yang hangatlah yang kita semai bersama.

Dari Masa lampau kita bermula!

Sebuah permulaan akan sebuah tradisi!

Untuk berbagi ceria!

Membuat jembatan hati!

Rumah kita bersama!

Ayo berjuang!

TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG

Demi kemajuan Keluarga Besar Jurusan dan Alumni Sejarah Unand!!.

Showing posts with label Artikel Alumni. Show all posts
Showing posts with label Artikel Alumni. Show all posts

Saturday, October 27, 2012

APA YANG PERLU DIBENCI DAN DISALAHKAN DARI POLITIK DAN PARTAI POLITIK

oleh Irfan
[Alumni sejarah angkatan 1998]


Irfan-sejarah-Unanc-pict
“Partai politik perlu disela­matkan karena di ten gah-tengah masyarakat kita sekarang muncul gejala yang cenderung men­deli­gitimasi partai politik. Kecen­derungan ini tentu ada sebab­nya. Yang paling utama karena di mata publik, partai politik hanya berisi sekumpulan oknum yang ambisius, gi­la jabatan, dan korup. Jika ada sederetan nama koruptor kakap, pasti di antara mereka ada yang berasal dari partai politik. Kalau pun ada pebisnis, atau birokrat yang tersangkut korupsi skala besar, pada umumnya pasti ada kaitan (karena bekerjasama/kongkalikong) dengan aktivis partai politik.” 

Pernyataan tersebut adalah bagian dari tulisan Jeffrie Geovanie (Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem) yang dimuat di  situs Online Harian Haluan tanggal 18 Oktober 2012. 

Dari apa yang beliau sampaikan dan realita dilapangan yang penulis temukan, hal itu adalah suatu kondisi yang nyata ditengah – tengah masyarakat kita saat ini, bahkan bukan hanya sekedar delegimitasi partai politik saja namun sudah sampai pada anti dan benci kepada politik dan partai politik. Masyarakat saat sekarang kalau mendengar kata politik dan partai politik yang terbayang oleh mereka adalah cara – cara yang kotor, kejam, keji, intrik, dan kegiatan yang penuh dengan tipu muslihat serta kebohongan. 

Pandangan masyarakat tersebut tidak bisa pula kita katakan salah, karena memang itulah kondisi nyata dari perpolitikan bangsa kita sekarang. Setiap hari kita bisa melihat dan membaca dari media elektronik dan cetak tentang prilaku “oknum” dari politisi dan partai politik yang telah mencampakan amanah konstituennya karena banyak politisi terlibat korupsi. Rakyat diabaikan bahkan dikhianati dengan berbagai kebijakan anti-rakyat.

Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat saat sekarang banyak yang antipati pada politisi dan partai politik, termasuk penulis sendiri dulunya. Namun pandangan tersebut berangsur – angsur berubah setelah penulis melihat profil dan sosok seorang Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih akrab dipanggil dengan (A Hok ) di Youtube. 

Dari apa yang penulis lihat dan dengar , penulis sampai pada suatu kesimpulan bahwa politik dan partai politik itu tidaklah negatif, kotor, keji dan kejam sepanjang dilakukan dan dilaksanakan oleh pribadi – pribadi yang benar – benar mau berjuang memperoleh kekuasan secara kontitusional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat banyak, bukan kesejahteraan pribadi, keluarga atau golongan tertentu saja. Dan itulah tujuan yang paling hakiki dari politik dan partai politik.

Lalu pertanyaan yang muncul dibenak kita adalah, kalau niat dan tujuan politik serta partai politik itu adalah mulia, kenapa masyarakat begitu antipati terhadap politik bahkan cenderung mendeligitimasi partai politik. Jawabannya sederhana penulis pikir, karena politik telah digunakan tidak sesuai dengan hakikatnya dan partai parpol saat sekarang banyak diisi oleh pribadi – pribadi yang berjuang bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, namun berjuang untuk kesejahteraan pribadi,keluarga,dan golongannya saja.

Apakah kondisi dan pemahaman masyarakat yang antipati terhadap politik dan cenderung mendeligitimasi Partai Politik terus kita biarkan, jawabannya tentu tidak kalau kita ingin melihat adanya perubahan kearah yang lebih baik terutama mengenai kesejahteraan dalam masyarakat dan bangsa kita. 

Perubahan tersebut tentunya hanya akan dapat diwujudkan kalau kita mau ikut dan turut serta dalam kancah perpolitikan karena  pesan dari seorang yang risau terhadap kondisi politik sekarang , "Ingat, "the only thing necessary for evil to triumph is for good men to do nothing". Hal yang dibutuhkan untuk merebaknya kejahatan, adalah orang baik yang tidak berbuat apa-apa. ( Prabowo Subianto. Ketua Umum Dewan Pembina Partai Gerindra). Maksud dari pesan itu jelas bahwa untuk membendung praktik keji dan kotor politik dan partai politik, hanya dapat dilakukan kalau semakin banyak individu-individu baik yang mau turut serta dalam politik dan partai politik

Untuk mencapai kondisi tersebut, tentu hal pertama yang harus dilakukan adalah merubah persepsi kita terhadap politik dan partai politik, politik dan partai politik bukanlah sesuatu yang perlu dibenci dan disalahkan. Yang perlu dibenci dan disalahkan adalah praktek – praktek kotor dan keji dalam memperoleh kekuasan yang tidak bertujuan untuk mensejahterakan rakyat banyak, kemudian perlu juga diingat bahwa didalam agama kita islam tidak ada pelarangan untuk terjun dalam dunia politik dan partai politik bahkan Hasan Al-Banna (Pendiri danTokoh Partai Ikhwanul Muslimin,Mesir ), dengan gamblang mengaitkan antara aqidah dan aktivitas politik. Ia berkata, “ Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, mempunyai pandangan jauh kedepan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya. Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsanya.

Kita beruntung sebenarnya hidup dalam negara demokrasi seperti saat sekarang, dimana Negara menjamin kemerdekan dan kebebasan rakyatnya  dalam mendirikan dan ikut serta dalam partai politik manapun yang dianggap akan mampu memperjuangkan Kesejahteraan bagi rakyat banyak. Jadi kata kuncinya penulis pikir adalah, politik dan partai politik pada hakikatnya adalah mulia, dia ( politik dan partai politik ) berubah menjadi sesuatu yang kotor, jahat, dan keji apabila digunakan oleh orang – orang yang ingin memperoleh kekuasan yang hanya bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan bagi pribadi, keluarga dan golongan saja, dan untuk itu mereka mencampakan bahkan mengkhianti kepercayaan yang telah diberikan rakyat kepada mereka.

Terakhir penulis ingin mengajak kepada kita semua, agar kita jangan terjebak pada sikap yang terlalu cepat curiga dalam melihat sesuatu persoalan. Tanpa melihat dan mempelajari persoalan itu secara rasional dan benar

Wassalam
Curahan hati di pagi hari/27.10.2012.

Tuesday, October 2, 2012

Kontroversi Kepahlawanan Paderi dan Momentum


Kontroversi pahlawan nasional yang akhir-akhir ini mengemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, semestinya dilihat dari berbagai aspek, jangan hanya dilihat dari sisi ideologis. Masalah itu semestinya juga ditempatkan secara metodologis. Pandangan ideologis adalah pandangan sektarian yang jauh dari kaedah-kaedah ilmiah dan bisa menimbulkan perpecahan. Untuk itu semestinya segala masalah sejarah dilihat secara metodologis dan historis dengan menempatkannya dalam iklim sosial-politik yang berkembang pada masa tersebut. [Artikel ini pernah dimuat diblog lama laman alumni sejarah unand.]

Oleh Wannofri Samry

Konsep Pahlawan Nasional
Bagi sejarawan konsep Pahlawan Nasional memang dalam kondisi “dilematis”, masalahnya pengangkatan seorang tokoh menjadi Pahlawan nasional tergantung pada seklompok orang yang dikukuhkan dengan SK Presiden. Akhirnya banyak tokoh yang sangat pantas menjadi Pahlawan nasional dan diakui di tengah masyarakat namun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Seperti Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang berjuang sejak zaman pergerakan, pernah menduduki Menteri Penerangan, dikagumi Soekarno, tokoh politik yang memberik corak dalam peta politik bangsa tidak diakui pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pada hal Sejarawan sekaliber Prof.. Taufik Abdullah, Dr . Anhar Gonggong, Dr. Mestika Zed dan Dr. Gusti Asnan dan lain-lain, sudah merekomendasikan dan mendukung agar pemerintah mengukuhkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Tragisnya, sejarah dipegang penguasa, Natsir ditolak sebagai Pahlawan nasional. Nasib M. Natsir bukan sendiri, Bung Tomo, Sutan Takdir Alisjahbana yang memperjuangkan kebudayaan sejak pergerakan, Hamka, dll masih belum diakui sebagai Pahlawan nasional. Anehnya, banyak tokoh-tokoh lokal yang tidak dikenal sejarah nasional justru dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional.

Tampaknya pemerintah melihat pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional sangat kental aspek politiknya. Seperti Natsir, ia mempunyai banyak pengikut di Indonesia bahkan intenasional, namun karena politik pemerintah tidak sesuai dengan aliran politiknya pemerintah enggan untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.

Sestinya pemerintah menetapkan kriteria yang jelas dalam mengangkat seseorang sebagai Pahlawab Nasional serta mengikutkan dan mendengarkan para sejarawan. Kasus pengangkatan M. natsir tampaknya pemerintah tidak mendengarkan para sejarawan.

Jika konsep Pahlawan Nasional saat ini rancu, mungkin perlu dimunculkan konsep lain, seperti Pahlawan Nasional Pra Indoinesia. Sebab secara aklamasi Indonesia baru muncul tahun 1928, dan secara spirit mulai muncul pada awal abad ke-20. Sebelumnya Indonesia disebuat oleh kolonial Belanda Nedherland Indie atau ada juga yang menyebut Moei Indie. Ternyata, kalau para Pahlawan Nasional kita yang di SK-kan pemerintah itu belum mengenal Indonesia. Banyak diantara mereka hidup di lingkungan budaya mereka.
Namun perubahan cara pandang terhadap Pahlawan nasional tidak bisa dilakukan secara ideologis dan etnis, sebab ini sangat berbahaya untuk kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Perubahan apapun dalam penulisan sejarah mesti dilakukan secara metodologis, mencakup sumber, konsep, metode dan pisau analisis. Karena itu gugatan terhadap Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, dalam hemat saya adalah gugatan yang sektarian dan tidak fair secara hisstoriografi.

Gerakan Paderi dan Kebijakan Kolonial
Gerakan paderi mestinya tidak dilihat hanya dalam kontek lokal di lingkaran Paderi, sebab ia juga berhubungan dengan kebijakan kolonial Belanda. Kolonial Belanda dalam kebijakannya mengadakan politik diskriminatif dan politik adu domba. Berhubungan dengan itu Belanda menganut polilik naturalisasi. Artinya mendukung berkembangnya budaya lokal dan menekan perkembangan Islam. Sebab Islam dalam masa penjajahan termasuk progresif dalam menentang kolonilaisme. Selain itu juga menopang sepenuh penyebaran agama kristen sebagai lawan Islam. Artinya pribumi diadu dengan pribumi. Penasehat kebijakan politik ini adalah Snouck Hougronje, ia selalu menekan Islam yang integratif dan mendukung Islam secara budaya. Dalam kontek itu budaya lokal didukung dan orang-orangnya dirangkul ke pihak kolonial. Namun guru-guru mengaji, kaum pemikir dan pergerakan Islam ditindas dan disisihkan. Bahkan pada awal pasca awal abad ke-20, pemegang kekuasaan lokal seperti kaum adat dan raja-raja kecil banyak yang terjebak ke pangkuan kolonial Belanda. Pemegang otoritas lokal tersebut digaji dan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah kolonial pada masa berikutnya. Jadi kolonial Belanda sengaja menciptakan gap yang besar dan rasa sakit hati yang dalam di lingkungan pribumi. Karena itu dalam kontek ini terjadi benturan antara kaum adat dan Islam serta kristen dengan wasitnya kolonial Belanda.

Di Minangkabau sendiri kaum adat terangan-terangan mendukung kolonial Belanda yang di mata kaum paderi adalah “kafir”. Jadi radikalisme itu sesunggunya disulut juga oleh model kebijakan kolonial Belanda yang pro adat dan diskriminatif.

Mengenai ekspansi Paderi ke Tanah Batak, ini juga dilihat secara hati-hati. Apakah ini penyerangan tanpa ada sebab atau bagaimana? Di bahagian utara mesti diketahui, Belanda sedang mendukung perkembangan agama kristen yang nanti bisa dibenturkan dengan penyebaran Islam yang semarak di bahagian selatan. Sejauh yang diamati mengenai kebijakan Tuanku Imam Bonjol bahwa ia adalah tokoh yang moderat, yang bisa berdampingan dengan kaum adat. Justru adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, besar kemungkinan muncul dari Tuanku Imam Bonjol. Dalam Keterangan Hamka (Dari Penbendaharaan Lama, Terbit Pertama 1963) disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol(TIB) adalah orang yang tidak menyukai kekerasan. Sikap itu terlihat dari sikap TIB dalam menyusun persatuan antara ulama dan kaum adat di Bonjol. Menurut Hamka sikap Tuanku Nan Renceh yang membunuh eteknya dan Tuanku Lintau yang membunuh keluarga Pagaruyung tidak didukung oleh Tuanku Imam Bonjol. Pertentangan kekerasan itu juga terjadi dalam gerakan Padri lainnya (Lihat Naskah Faqih Saghir).

Momen gugatan terhadap Imam Bonjol semestinya menjadi titik balik bagi pemerintah Repubik Indonesia untuk memperhatikan penulisan sejarah dan budaya secara sunggguhh-sungguh. Karena itu sudah semestinya pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pariwisata, Seni dan Budayan beserta lembaga-lembaga terkait seperti Museum dan Lembaga Arsip untuk untuk memperhatikan secara serius mengenai arsip-arsip sejarah, termasuk arsip sejarah daerah. Selama ini bagi pemerintah, lembaga Arsip dan Museum seakan-akan lembaga sempalan dan tempat pegawai-pegawai yang tidak produktif. Sementara saat sejarah Indonesia dipertanyakan semua orang, termasuk pemerintah kewalahan dalam menjawabnya.

Sesuai dengan perkembangan demokrasi, maka pada masa yang akan datang gugatan-gugatan sejarah akan makin sering dilakukan. Kalau ini tidak disalurkan dan diberikan jawaban maka juga bisa mengancam integrasi bangsa. Karena itu, sepantasnya pemerintah mendukung dan mewujudkan Komisi Pelurusan Sejarah Indonesia, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Komisi ini bersama-sama dengan lembaga terkait menyusun strategi untuk mengembalikan arsip-arsip sejarah yang ada di luar negeri, terutama yang ada di negeri Belanda. Selain itu Komisi Pelurusan sejarah juga menyusun strategi untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah yang masih ada di dalam negeri. Hal ini diharapkan memberikan jalan atau solusi dalam berbagai kontroversial sejarah pada masa yang akan datang.

*Wannofri Samry, Dosen Jurusan Sejarah Unand, Ph.D kandidat UKM, Malaysia, dan Direktur Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan Universitas Andalas.

Jujur Sebagai Nasionalis


Benarkah semangat nasionalisme kini menjadi tipis hingga gemannya menjadi senyap? Sebuah pertanyaan yang mendesak untuk dijawab! Seberapa jujurnya kita sebagai nasionalis? Seabad sudah penghitungan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Sejauh ini yang kerap muncul adalah gugatan terhadap rasa nasionalisme anak bangsa yang makin memudar. Dari tahun ke tahun, tema nasionalisme itu selalu rutin menjadi bahan diskusi. Hingga kini pun, opini publik yang berkembang ada semacam gugatan  bahwa kini nasionalisme sudah makin pudar, erosi nasionalisme dan lain sebagainya.


Emil-Mahmud-pict{Artikel ini pernah dimuat di blog alumni yang lalu, namun demi kelanjutan dan bahan bacaan bagi yang belum membacanya, admin kembali menayangkannya untuk kita nikmati kembali}

Oleh: Emil Mahmud


Berbagai pendapat itu, tentu saja perlu ditelaah lebih mendalam lagi. Mengingat dalam kenyataannya kita selalu membandingkan semangat nasionalisme dalam era yang berbeda. Di satu sisi, semangat nasionalisme itu diyakini masih tebal tertanam di dada para pejuang republik. Pejuang dimaksud adalah mereka yang hidup dan berjuang melawan penjajah.

Di sisi lain, semangat nasionalisme itu dituding rapuh tertanam di dada anak bangsa saat ini. Seberapa kuatnya semangat nasionalisme masih melekat pada diri anak bangsa saat ini. Kini hampir seabad Harkitnas diperingati, tema nasionalisme makin meluas dibahas. Sebagai suatu mazhab atau aliran pemikiran, terminologinya sikap nasionalis adalah sikap seorang warga negara yang diakui sangat cinta terhadap bangsanya. Sikap nasionalis itu menjadi universal, apabila kecintaan terhadap bangsa dilandasi oleh kejujuran.

Menakar Nasionalis
Bermula dari kiprah para aktivis pejuang di awal abad 20, mereka begitu giat melawan penindasan penjajah. Kebangkitan nasional kala itu dimaknai sebagai wujud perlawanan terhadap imperealisme serta praktik penjajahan.
proklamasi-indonesia
Momentum itu menjadi  bersejarah, karena para aktivis pejuang yang ikut mendirikan Boedi Oetomo pada 1908. Sikap para aktivis itu, jelas menunjukkan dedikasinya sebagai seorang nasionalis. Yakni seorang nasionalis yang jujur. Hingga akhirnya potret sejarah itu layak untuk menjadi momentum peringatan Harkitnas.

Guna menakar semangat nasionalisme itu perlu suatu pisau bedah untuk menganalisanya. Dalam konteks ini, penakaran semangat nasionalisme perlu kiranya suatu pembanding. Pembanding yang paling layak serta mampu menimbang semangat nasionalisme justru kejujuran itu sendiri. Jujurkah kita sebagai seorang nasionalis?!

Alangkah lebar dan luasnya, makna jujur untuk menjadi pisau analisa guna menakar semangat nasionalisme itu. Tikamkanlah pisau analisa; jujur itu yakni dengan mempertanyakan kejujuran kepada seseorang yang mengaku nasionalis itu.

Tipis atau tebalnya semangat nasionalisme tidak dapat ditinjau hanya dari maraknya peringatan pada 20 Mei itu saja. Semarak peringatan Harkitnas tentu saja bisa menjadi bermakna. Untuk memaknainya perlu digandenng dengan event dan agenda yang selalu merangkul keadilan masyarakat.

Hal itu dapat ditempuh dengan mengagendakan kegiatan yang sanggup untuk mengembalikan citra bangsa ini. Bangsa ini kiranya sudah terpuruk karena ketahuan oleh dunia internasional sebagai bangsa yang ‘korup’. Buktinya, masih ditemui adanya oknum aparat dan pejabat yang cenderung melakukan praktik korupsi. Di samping itu, faktanya di sejumlah proses penegakkan hukum di pengadilan, didapat fakta bahwa praktik korupsi sejalan dengan penyalahgunaan wewenang.

Celakanya, pengabdian kepada negara menjadi penghianatan yang jelas-jelas dilakukan oleh mereka yang dipercayai sebagai abdi negara. Akibatnya, ulah oknum tersebut tentunya tidak dapat ditolerir. Karena mereka dapat digolongkan sebagai penghianat bangsa yang anti nasionalis.

Tindakan menggerogoti aset negara, serta ‘menikmati’ duit rakyat untuk kepentingan individu dan golongan terus terungkap satu per satu. Belum lagi, penangangan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang seolah menemui jalan buntu.

Sesungguhnya bangsa ini bisa saja bertindak asalkan bertekad untuk menuntaskan kasus tersebut. Dana itu semestinya dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, kalau uang itu dipergunakan untuk membayar utang luar negeri maka – akan mampu membawa Republik Indonesia ini — keluar dari lilitan utang tersebut.
Selain itu praktik penilepan duit rakyat yang notabene dianggarkan melalui APBN/APBD di  Republik Indonesia juga belumlah terawasi. Alhasil, kebocoran duit negara yang semula diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi sia-sia begitu saja.

Pada saat yang sama, ketika penegakkan hukum hanya setengah hati, turut melemahkan semangat nasionalisme itu. Mengingat harapan untuk menjadi bangsa yang kuat pun menjadi sirna. Pasalnya, ulah oknum aparat penegak hukum itu pun memicu pudarnya semangat nasionalisme. Terlebih saat oknum aparat penegak hukum yang seharusnya menumpas kasus pidana korupsi, ironisnya ada yang berkhianat. Pasalnya,  ada aparat penegak hukum itu yang diduga kuat turut bermain dalam lingkaran (setan) mafia peradilan yang sudah mendilemati itu.

Catatan Penting
Memaknai semangat nasionalisme, kini saatnya untuk memulihkan optimisme terhadap bangkitnya nasionalisme di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan ada warga di republik ini yang didapati sudah apatis terhadap bangsanya. Ironisnya lagi, sikap apatis terhadap bangsanya itu sulit untuk dihilangkannya. Alasannya, antara lain; lantaran masih relatif sulitnya mendapatkan kepastian hukum dan lainnya.
Tidak saja penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan pelanggaran HAM, yang menjadi dilematis. Di samping itu pengangkangan hak-hak sipil dan rakyat yang masih terabaikan. Ada banyak kondisi yang membuat kita gerah.

Sejurus dengan itu, momentum peringatan Harkitnas hendaknya menjadi refleksi atau perenungan bagi kita bersama. Utamanya, bagi mereka yang secara jujur mengakui dirinya sebagai seorang nasionalis.
Mengutip sebuah hasil riset Lembaga Kajian Demokrasi dan HAM (Demos), kini perlu  adanya langkah-langkah nyata untuk mematahkan sumber-sumber kekuasaan aktor dominan dalam negara. Pada saat tertentu aktor dominan, juga melakukan persekutuan dengan kelompok perkeliruan, yang di dalam negara sendiri sesungguhnya bukan sebagai institusi/individu yang legal.

Menurut penulis, sebagai penghianat bangsa yang kontra produktif dengan nasionalis, mereka para oknum itu perlu untuk dikontrol secara tegas melalui instrumen dalam negara yang legal formal. Di antaranya, instrumen yang memiliki proses penegakkan hukum, pengakuan HAM dan aturan serta norma yang berlaku.

Salah satu kontrol yang kini diharap, untuk mampu membela kepentingan negara yakni lewat kontrol oleh Pers. Yakni pers sebagai pilar demokrasi, di samping tiga pilar dalam negara lainnya; legislatif, eksekutif dan yudhikatif. Karenanya, pers harus diperkuat komitmennya agar konsisten melakukan kontrol sosial. Yakni jujur sebagai nasionalis!(*)

**) EMIL MAHMUD, penulis adalah Wartawan Bangka Pos Group.
(Tulisan ini merupakan artikel hasil lomba yang digelar Panitia Hari Besar Nasional (PHBN) bekerjasama PWI Pusat dan Dewan Pers, dan diproyeksikan untuk materi bacaan saat peringatan Seabad Harkitnas 2008 lalu. Artikel (opini) ini menyabet predikat Terbaik III dan telah di dipublikasi di sejumlah media nasional, termasuk di Harian Kompas.)

Monday, October 1, 2012

Sanksi Zina dalam Pandangan Islam


Oleh : Irfan, SS

“Untuk Berantas Perzinaan Ranperda Adopsi Sanksi Adat
Itu adalah salah satu judul Berita di harian Singgalang hari ini (1/10-2012 ). Berita tersebut menarik karena  Sanksi adat akan diadopsi dalam rancangan peraturan daerah (ranperda) pemberantasan perzinaan dan pelacuran yang saat ini dibahas DPRD Kota Padang. Pada bagian lain dari berita tersebut disebutkan bahwa tujuan dari ranperda itu adalah mencegah dan memberantas praktik perzinaan dan pelacuran di Kota Padang dan mewujudkan kehidupan masyarakat yang agamais serta Pancasilais.

Cuma kita sebagai masyarakat sangat menyanyangkan dan heran, kenapa cuma sanksi adat yang diadopsi dan mengabaikan sanksi agama dalam ranperda itu, bukankah kita masyarakat kota Padang masih menganut paham filosofi adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, dari situ jelas bahwa adat basandi kepada agama dan agama basandi kitabullah, (al Quran ), jadi secara logika tidak logis kalau sanksi adatnya dipakai sementara sanksi agamanya dicampakan. Hal ini semestinya juga menjadi pertimbangan bagi anggota dewan, kalau ingin mengadopsi sanksi adat jangan lupa pula memasukan sanksi agamanya, dan sanksi agamanya jelas bersumber kepada kitab Allah, al Quran dan al Hadist. Dari situ baru nampak korelasinya, sehingga filosofi tersebut tidak hanya menjadi slogan semata.

Dalam pandangan Islam, zina merupakan perbuatan kriminal (jarimah) yang dikatagorikan hukuman hudud. Yakni sebuah jenis hukuman atas perbuatan maksiat yang menjadi hak Allah SWT, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak memaafkan kemaksiatan tersebut, baik oleh penguasa atau pihak berkaitan dengannya. 

Berdasarkan Qs. an-Nuur [24]: 2, pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan harus dihukum jilid (cambuk) sebanyak 100 kali. Namun, jika pelaku perzinaan itu sudah muhson (pernah menikah), sebagaimana ketentuan hadits Nabi saw maka diterapkan hukuman rajam. (http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-orang-berbuat-zina/ ).

Tentu akan muncul pertanyaan kalau sanksi agama tersebut diadopsi siapa yang akan berhak melaksanakannya sementara kita Kota Padang tidak memiliki (kepala negara Khilafah Islamiyyah) jawabannya tentu. Jika sekarang tidak ada khalifah, yang dilakukan adalah menegakkan Daulah Khilafah terlebih dahulu. Dan untuk mewujudkan hal tersebut,  apa yang sudah dilakukan oleh  provinsi tentangga Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) dapat dijadikan sebagai contoh. Tinggal sekarang ada atau tidaknya kemauan politik ( political will ) dari walikota dan anggota dewan Kota Padang, agar tujuan dari ranperda itu dapat tercapai. Sekaligus menyelamatkan generasi muda dari seks bebas, karena dari survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak  sungguh mencengangkan.” Sebanyak 93,7 persen anak-anak pernah melakukan hubungan seks” dan sebanyak 21,2 persen remaja yang menjadi sampel mengaku pernah melakukan aborsi akibat mengalami kehamilan pranikah. 

Pelaku aborsi itu merupakan prosentase dari 14.726 anak yang duduk di SMP dan SMA. Kondisi ini menyebar di 12 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Makassar, Medan, Lampung, Palembang, Kepulauan Riau, dan kota-kota di Sumatera Barat.(Berita99.com/16 juli 2012 ).

Kenapa itu bisa terjadi karena selama ini sanksi yang diberikan kepada pelakunya sangat lemah, Sebagaimana diketahui, hukuman terhadap perzinaan (mukah atau overspel) yang diatur oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 284 adalah pidana penjara paling lama sembilan bulan dan hanya berlaku bagi pelaku yang sudah menikah. Sedangkan bagi pelaku zina yang belum menikah tidak ada hukumannya. Bahkan perzinaan yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah tidak akan dihukum jika tidak ada pihak yang mengadu dari suami atau istri yang merasa tercemar nama baiknya dalam waktu paling lama tiga bulan. ( http://www.muslimdaily.net/opini/4627/ ). Bandingkan dengan hukum Islam yang memberikan sanksi tegas yaitu dengan memberlakukan hukuman cambuk dan rajam bagi pezina seperti yang disebutkan diatas.

Saya yakin, jika sanksi agama tersebut dimasukan kedalam Ranperda yang sedang dibahas, orang tidak akan berani dan akan berpikir dua kali untuk melakukan praktek perzinahan dan prostitusi …wassalam.

NB: Silahkan klik iklannya. Klikan Anda akan memudahkan kerja tim redaksi blog ini. Tidak akan ada pungutuan biaya pada Anda. Terima kasih. Red.

Sunday, September 30, 2012

Pembuktian Terbalik dan Transparansi Anggaran dalam Pencegahan Korupsi

oleh: Irfan, SS

Sebuah langkah maju dalam pemberantasan Korupsi baru saja dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memutuskan kepala daerah atau wakilnya bisa diperiksa penyidik tanpa perlu izin presiden jika menjadi tersangka. Putusan tersebut dikeluarkan  menjawab permohonan yang diajukan oleh Teten Masduki, Zaenal Arifin Mochtar dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Para pemohon menggugat pasal 36 UU Pemda no 24/2004 karena dinilai menghambat proses pemberantasan korupsi. Sebab untuk memeriksa kepala daerah harus dengan izin presiden yang memakan waktu sangat lama.

Mereka meminta pasal 36 UU Pemda No 24/2004 dihapuskan karena bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27. Gugatan ini dikabulkan sebagian oleh MK, karena  penahanan kepala daerah masih memerlukan izin dari Presiden (Detiknews, Rabu, 26/09/2012). Adanya keputusan tersebut tentunya akan mempermudah tugas aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, sehingga kendala yang selalu dihadapi oleh aparat kepolisian dan kejaksaan dalam memeriksa  setiap kepala daerah atau wakilnya yang tersangkut masalah korupsi dapat teratasi.

Keputusan tersebut patut kita apresiasi, karena putusan tersebut mencerminkan semangat pemberantasan korupsi di Negara ini. Namun ada hal yang menurut saya, lebih penting lagi dalam memberangus korupsi di Negara ini yaitu, faktor pencegahan yang seharusnya lebih dikedepankan supaya korupsi itu tidak terjadi, bukankah mencegah itu lebih dari baik dari mengobati. Untuk itu saya pikir perlu adanya usaha – usaha dalam mewujudkannya. Sama seperti untuk memberantas penyakit polio diberikan vaksin anti polio, begitu juga untuk mengatasi penyakit flu burung pada ayam, dengan cara  diberikan vaksin flu burung kepada ayamnya,  kemudian kandangnya dibersihkan, bahkan orang yang bersentuhannyapun disterilkan, kesemua usaha tersebut dilakukan supaya virus tersebut  jangan menyebar dan tidak menulari ayam – ayam yang sehat.  Tidak dapat dibayangkan kalau usaha –usaha tersebut tidak dilakukan,mungkin saat ini kita tidak lagi dapat menikmati daging ayam bahkan telurnya sebagai sumber makanan.

Kembali kepada persoalan pencegahan korupsi, pemikiran banyak tokoh salah satunya Basuki Cahaya Purnama yang lebih dikenal dengan A hok wakil gubernur DKI Jakarta yang baru, yaitu tentang pembuktian terbalik terhadap harta setiap pejabat publik dari tingkat Lurah sampai Presiden pada saat mereka sebelum menjabat dan sesudah menjabat perlu kita dukung dan perjuangkan agar bisa di wujudkan dalam bentuk Undang – Undang, sehingga peluang untuk korupsi dapat diperkecil, karena prinsip pembuktian harta terbalik memungkin Negara untuk melakukan penyitaan terhadap harta – harta yang tidak dapat dijelaskan sumber , dan legalitas  dalam memperolehnya. Kemudian hal yang tidak kalah penting dari usaha pencegahan korupsi tersebut adalah adanya transparansi anggaran dalam setiap penyelenggaran pemerintahan daerah , karena selama ini yang menjadi sasaran utama dari setiap korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah dan sebagian wakil rakyat adalah dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD ). Adanya peluang untuk mengkorupsi APBD tersebut disebabkan karena tidak adanya keterbukaan dan kejelasan yang diberikan kepada masyarakat mengenai besaran dan detail dari penggunaan dana APBD tersebut,  sehingga adanya keleluasan dan kesempatan untuk menyelewengkan dan menyalahgunaan dana APBD tersebut, Untuk itu kita patut menuntut dan mendesak kepada setiap kepala daerah untuk melakukan transparansi pada setiap penggunaan dana APBD . sehingga control dan pengawasan langsung terhadap kebijakan penggunaaan dana APBD dapat dilakukan oleh masyarakat, sekaligus untuk menjalankan amanah dari Undang – Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi Publik.

Transparansi anggaran sebernarnya tidak hanya terbatas pada APBD saja, karena menurut UU ini, sepanjang sebagian atau atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat , dan/ atau luar negeri. ( pasal 1 point 3 ) kita sebagai rakyat mempunyai hak untuk mengetahuinya, Termasuk anggaran dalam dunia pendidikan. Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sebagai salah satunya juga diminta untuk transparan dalam pengelolaan dananya. Karena selama ini perguruan tinggi masih kurang transparan dalam memaparkan berapa biaya operasional yang dibutuhkan setiap tahunnya. Bahkan ada PTN yang sama sekali tidak mengumumkan. Akibatnya sewaktu-waktu PTN bisa saja meminta pungutan tambahan kepada mahasiswa dengan dalih untuk  penambahan  biaya operasional. Atau tidak mendukung berbagai kegiatan kemahasiswaan yang dilakukan oleh mahasiswa dengan alasan  tidak ada dana yang tersedia atau di anggarkan untuk membiayai kegiatan tersebut. Selain itu melalui transparansi anggaran, diharapkan tidak adanya kecurangan atau kesalahpahaman yang terjadi antara Mahasiswa dan pihak Universitas.

Tidak mudah memang untuk mewujudkan semua usaha itu karena  butuh waktu dan perjuangan karena begitu banyak kepentingan didalamnya.  Untuk itu saya mengajak kepada kita semua untuk lebih peduli terhadap bangsa ini, semoga dengan adanya kepedulian dari kita semua perubahan kearah yang lebih baik itu dapat diwujudkan.