Tuesday, October 2, 2012

Jujur Sebagai Nasionalis


Benarkah semangat nasionalisme kini menjadi tipis hingga gemannya menjadi senyap? Sebuah pertanyaan yang mendesak untuk dijawab! Seberapa jujurnya kita sebagai nasionalis? Seabad sudah penghitungan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Sejauh ini yang kerap muncul adalah gugatan terhadap rasa nasionalisme anak bangsa yang makin memudar. Dari tahun ke tahun, tema nasionalisme itu selalu rutin menjadi bahan diskusi. Hingga kini pun, opini publik yang berkembang ada semacam gugatan  bahwa kini nasionalisme sudah makin pudar, erosi nasionalisme dan lain sebagainya.


Emil-Mahmud-pict{Artikel ini pernah dimuat di blog alumni yang lalu, namun demi kelanjutan dan bahan bacaan bagi yang belum membacanya, admin kembali menayangkannya untuk kita nikmati kembali}

Oleh: Emil Mahmud


Berbagai pendapat itu, tentu saja perlu ditelaah lebih mendalam lagi. Mengingat dalam kenyataannya kita selalu membandingkan semangat nasionalisme dalam era yang berbeda. Di satu sisi, semangat nasionalisme itu diyakini masih tebal tertanam di dada para pejuang republik. Pejuang dimaksud adalah mereka yang hidup dan berjuang melawan penjajah.

Di sisi lain, semangat nasionalisme itu dituding rapuh tertanam di dada anak bangsa saat ini. Seberapa kuatnya semangat nasionalisme masih melekat pada diri anak bangsa saat ini. Kini hampir seabad Harkitnas diperingati, tema nasionalisme makin meluas dibahas. Sebagai suatu mazhab atau aliran pemikiran, terminologinya sikap nasionalis adalah sikap seorang warga negara yang diakui sangat cinta terhadap bangsanya. Sikap nasionalis itu menjadi universal, apabila kecintaan terhadap bangsa dilandasi oleh kejujuran.

Menakar Nasionalis
Bermula dari kiprah para aktivis pejuang di awal abad 20, mereka begitu giat melawan penindasan penjajah. Kebangkitan nasional kala itu dimaknai sebagai wujud perlawanan terhadap imperealisme serta praktik penjajahan.
proklamasi-indonesia
Momentum itu menjadi  bersejarah, karena para aktivis pejuang yang ikut mendirikan Boedi Oetomo pada 1908. Sikap para aktivis itu, jelas menunjukkan dedikasinya sebagai seorang nasionalis. Yakni seorang nasionalis yang jujur. Hingga akhirnya potret sejarah itu layak untuk menjadi momentum peringatan Harkitnas.

Guna menakar semangat nasionalisme itu perlu suatu pisau bedah untuk menganalisanya. Dalam konteks ini, penakaran semangat nasionalisme perlu kiranya suatu pembanding. Pembanding yang paling layak serta mampu menimbang semangat nasionalisme justru kejujuran itu sendiri. Jujurkah kita sebagai seorang nasionalis?!

Alangkah lebar dan luasnya, makna jujur untuk menjadi pisau analisa guna menakar semangat nasionalisme itu. Tikamkanlah pisau analisa; jujur itu yakni dengan mempertanyakan kejujuran kepada seseorang yang mengaku nasionalis itu.

Tipis atau tebalnya semangat nasionalisme tidak dapat ditinjau hanya dari maraknya peringatan pada 20 Mei itu saja. Semarak peringatan Harkitnas tentu saja bisa menjadi bermakna. Untuk memaknainya perlu digandenng dengan event dan agenda yang selalu merangkul keadilan masyarakat.

Hal itu dapat ditempuh dengan mengagendakan kegiatan yang sanggup untuk mengembalikan citra bangsa ini. Bangsa ini kiranya sudah terpuruk karena ketahuan oleh dunia internasional sebagai bangsa yang ‘korup’. Buktinya, masih ditemui adanya oknum aparat dan pejabat yang cenderung melakukan praktik korupsi. Di samping itu, faktanya di sejumlah proses penegakkan hukum di pengadilan, didapat fakta bahwa praktik korupsi sejalan dengan penyalahgunaan wewenang.

Celakanya, pengabdian kepada negara menjadi penghianatan yang jelas-jelas dilakukan oleh mereka yang dipercayai sebagai abdi negara. Akibatnya, ulah oknum tersebut tentunya tidak dapat ditolerir. Karena mereka dapat digolongkan sebagai penghianat bangsa yang anti nasionalis.

Tindakan menggerogoti aset negara, serta ‘menikmati’ duit rakyat untuk kepentingan individu dan golongan terus terungkap satu per satu. Belum lagi, penangangan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang seolah menemui jalan buntu.

Sesungguhnya bangsa ini bisa saja bertindak asalkan bertekad untuk menuntaskan kasus tersebut. Dana itu semestinya dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, kalau uang itu dipergunakan untuk membayar utang luar negeri maka – akan mampu membawa Republik Indonesia ini — keluar dari lilitan utang tersebut.
Selain itu praktik penilepan duit rakyat yang notabene dianggarkan melalui APBN/APBD di  Republik Indonesia juga belumlah terawasi. Alhasil, kebocoran duit negara yang semula diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat menjadi sia-sia begitu saja.

Pada saat yang sama, ketika penegakkan hukum hanya setengah hati, turut melemahkan semangat nasionalisme itu. Mengingat harapan untuk menjadi bangsa yang kuat pun menjadi sirna. Pasalnya, ulah oknum aparat penegak hukum itu pun memicu pudarnya semangat nasionalisme. Terlebih saat oknum aparat penegak hukum yang seharusnya menumpas kasus pidana korupsi, ironisnya ada yang berkhianat. Pasalnya,  ada aparat penegak hukum itu yang diduga kuat turut bermain dalam lingkaran (setan) mafia peradilan yang sudah mendilemati itu.

Catatan Penting
Memaknai semangat nasionalisme, kini saatnya untuk memulihkan optimisme terhadap bangkitnya nasionalisme di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan ada warga di republik ini yang didapati sudah apatis terhadap bangsanya. Ironisnya lagi, sikap apatis terhadap bangsanya itu sulit untuk dihilangkannya. Alasannya, antara lain; lantaran masih relatif sulitnya mendapatkan kepastian hukum dan lainnya.
Tidak saja penanganan kasus-kasus yang berkenaan dengan pelanggaran HAM, yang menjadi dilematis. Di samping itu pengangkangan hak-hak sipil dan rakyat yang masih terabaikan. Ada banyak kondisi yang membuat kita gerah.

Sejurus dengan itu, momentum peringatan Harkitnas hendaknya menjadi refleksi atau perenungan bagi kita bersama. Utamanya, bagi mereka yang secara jujur mengakui dirinya sebagai seorang nasionalis.
Mengutip sebuah hasil riset Lembaga Kajian Demokrasi dan HAM (Demos), kini perlu  adanya langkah-langkah nyata untuk mematahkan sumber-sumber kekuasaan aktor dominan dalam negara. Pada saat tertentu aktor dominan, juga melakukan persekutuan dengan kelompok perkeliruan, yang di dalam negara sendiri sesungguhnya bukan sebagai institusi/individu yang legal.

Menurut penulis, sebagai penghianat bangsa yang kontra produktif dengan nasionalis, mereka para oknum itu perlu untuk dikontrol secara tegas melalui instrumen dalam negara yang legal formal. Di antaranya, instrumen yang memiliki proses penegakkan hukum, pengakuan HAM dan aturan serta norma yang berlaku.

Salah satu kontrol yang kini diharap, untuk mampu membela kepentingan negara yakni lewat kontrol oleh Pers. Yakni pers sebagai pilar demokrasi, di samping tiga pilar dalam negara lainnya; legislatif, eksekutif dan yudhikatif. Karenanya, pers harus diperkuat komitmennya agar konsisten melakukan kontrol sosial. Yakni jujur sebagai nasionalis!(*)

**) EMIL MAHMUD, penulis adalah Wartawan Bangka Pos Group.
(Tulisan ini merupakan artikel hasil lomba yang digelar Panitia Hari Besar Nasional (PHBN) bekerjasama PWI Pusat dan Dewan Pers, dan diproyeksikan untuk materi bacaan saat peringatan Seabad Harkitnas 2008 lalu. Artikel (opini) ini menyabet predikat Terbaik III dan telah di dipublikasi di sejumlah media nasional, termasuk di Harian Kompas.)

0 comments :

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda...