Tuesday, October 2, 2012

Kontroversi Kepahlawanan Paderi dan Momentum


Kontroversi pahlawan nasional yang akhir-akhir ini mengemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, semestinya dilihat dari berbagai aspek, jangan hanya dilihat dari sisi ideologis. Masalah itu semestinya juga ditempatkan secara metodologis. Pandangan ideologis adalah pandangan sektarian yang jauh dari kaedah-kaedah ilmiah dan bisa menimbulkan perpecahan. Untuk itu semestinya segala masalah sejarah dilihat secara metodologis dan historis dengan menempatkannya dalam iklim sosial-politik yang berkembang pada masa tersebut. [Artikel ini pernah dimuat diblog lama laman alumni sejarah unand.]

Oleh Wannofri Samry

Konsep Pahlawan Nasional
Bagi sejarawan konsep Pahlawan Nasional memang dalam kondisi “dilematis”, masalahnya pengangkatan seorang tokoh menjadi Pahlawan nasional tergantung pada seklompok orang yang dikukuhkan dengan SK Presiden. Akhirnya banyak tokoh yang sangat pantas menjadi Pahlawan nasional dan diakui di tengah masyarakat namun tidak diakui secara formal oleh pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Seperti Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam yang berjuang sejak zaman pergerakan, pernah menduduki Menteri Penerangan, dikagumi Soekarno, tokoh politik yang memberik corak dalam peta politik bangsa tidak diakui pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pada hal Sejarawan sekaliber Prof.. Taufik Abdullah, Dr . Anhar Gonggong, Dr. Mestika Zed dan Dr. Gusti Asnan dan lain-lain, sudah merekomendasikan dan mendukung agar pemerintah mengukuhkan M. Natsir sebagai Pahlawan Nasional. Tragisnya, sejarah dipegang penguasa, Natsir ditolak sebagai Pahlawan nasional. Nasib M. Natsir bukan sendiri, Bung Tomo, Sutan Takdir Alisjahbana yang memperjuangkan kebudayaan sejak pergerakan, Hamka, dll masih belum diakui sebagai Pahlawan nasional. Anehnya, banyak tokoh-tokoh lokal yang tidak dikenal sejarah nasional justru dikukuhkan sebagai Pahlawan nasional.

Tampaknya pemerintah melihat pengangkatan seseorang jadi pahlawan nasional sangat kental aspek politiknya. Seperti Natsir, ia mempunyai banyak pengikut di Indonesia bahkan intenasional, namun karena politik pemerintah tidak sesuai dengan aliran politiknya pemerintah enggan untuk mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.

Sestinya pemerintah menetapkan kriteria yang jelas dalam mengangkat seseorang sebagai Pahlawab Nasional serta mengikutkan dan mendengarkan para sejarawan. Kasus pengangkatan M. natsir tampaknya pemerintah tidak mendengarkan para sejarawan.

Jika konsep Pahlawan Nasional saat ini rancu, mungkin perlu dimunculkan konsep lain, seperti Pahlawan Nasional Pra Indoinesia. Sebab secara aklamasi Indonesia baru muncul tahun 1928, dan secara spirit mulai muncul pada awal abad ke-20. Sebelumnya Indonesia disebuat oleh kolonial Belanda Nedherland Indie atau ada juga yang menyebut Moei Indie. Ternyata, kalau para Pahlawan Nasional kita yang di SK-kan pemerintah itu belum mengenal Indonesia. Banyak diantara mereka hidup di lingkungan budaya mereka.
Namun perubahan cara pandang terhadap Pahlawan nasional tidak bisa dilakukan secara ideologis dan etnis, sebab ini sangat berbahaya untuk kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Perubahan apapun dalam penulisan sejarah mesti dilakukan secara metodologis, mencakup sumber, konsep, metode dan pisau analisis. Karena itu gugatan terhadap Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai, dalam hemat saya adalah gugatan yang sektarian dan tidak fair secara hisstoriografi.

Gerakan Paderi dan Kebijakan Kolonial
Gerakan paderi mestinya tidak dilihat hanya dalam kontek lokal di lingkaran Paderi, sebab ia juga berhubungan dengan kebijakan kolonial Belanda. Kolonial Belanda dalam kebijakannya mengadakan politik diskriminatif dan politik adu domba. Berhubungan dengan itu Belanda menganut polilik naturalisasi. Artinya mendukung berkembangnya budaya lokal dan menekan perkembangan Islam. Sebab Islam dalam masa penjajahan termasuk progresif dalam menentang kolonilaisme. Selain itu juga menopang sepenuh penyebaran agama kristen sebagai lawan Islam. Artinya pribumi diadu dengan pribumi. Penasehat kebijakan politik ini adalah Snouck Hougronje, ia selalu menekan Islam yang integratif dan mendukung Islam secara budaya. Dalam kontek itu budaya lokal didukung dan orang-orangnya dirangkul ke pihak kolonial. Namun guru-guru mengaji, kaum pemikir dan pergerakan Islam ditindas dan disisihkan. Bahkan pada awal pasca awal abad ke-20, pemegang kekuasaan lokal seperti kaum adat dan raja-raja kecil banyak yang terjebak ke pangkuan kolonial Belanda. Pemegang otoritas lokal tersebut digaji dan anak-anak mereka disekolahkan di sekolah kolonial pada masa berikutnya. Jadi kolonial Belanda sengaja menciptakan gap yang besar dan rasa sakit hati yang dalam di lingkungan pribumi. Karena itu dalam kontek ini terjadi benturan antara kaum adat dan Islam serta kristen dengan wasitnya kolonial Belanda.

Di Minangkabau sendiri kaum adat terangan-terangan mendukung kolonial Belanda yang di mata kaum paderi adalah “kafir”. Jadi radikalisme itu sesunggunya disulut juga oleh model kebijakan kolonial Belanda yang pro adat dan diskriminatif.

Mengenai ekspansi Paderi ke Tanah Batak, ini juga dilihat secara hati-hati. Apakah ini penyerangan tanpa ada sebab atau bagaimana? Di bahagian utara mesti diketahui, Belanda sedang mendukung perkembangan agama kristen yang nanti bisa dibenturkan dengan penyebaran Islam yang semarak di bahagian selatan. Sejauh yang diamati mengenai kebijakan Tuanku Imam Bonjol bahwa ia adalah tokoh yang moderat, yang bisa berdampingan dengan kaum adat. Justru adat basandi syarak dan syarak basandi kitabullah, besar kemungkinan muncul dari Tuanku Imam Bonjol. Dalam Keterangan Hamka (Dari Penbendaharaan Lama, Terbit Pertama 1963) disebutkan bahwa Tuanku Imam Bonjol(TIB) adalah orang yang tidak menyukai kekerasan. Sikap itu terlihat dari sikap TIB dalam menyusun persatuan antara ulama dan kaum adat di Bonjol. Menurut Hamka sikap Tuanku Nan Renceh yang membunuh eteknya dan Tuanku Lintau yang membunuh keluarga Pagaruyung tidak didukung oleh Tuanku Imam Bonjol. Pertentangan kekerasan itu juga terjadi dalam gerakan Padri lainnya (Lihat Naskah Faqih Saghir).

Momen gugatan terhadap Imam Bonjol semestinya menjadi titik balik bagi pemerintah Repubik Indonesia untuk memperhatikan penulisan sejarah dan budaya secara sunggguhh-sungguh. Karena itu sudah semestinya pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pariwisata, Seni dan Budayan beserta lembaga-lembaga terkait seperti Museum dan Lembaga Arsip untuk untuk memperhatikan secara serius mengenai arsip-arsip sejarah, termasuk arsip sejarah daerah. Selama ini bagi pemerintah, lembaga Arsip dan Museum seakan-akan lembaga sempalan dan tempat pegawai-pegawai yang tidak produktif. Sementara saat sejarah Indonesia dipertanyakan semua orang, termasuk pemerintah kewalahan dalam menjawabnya.

Sesuai dengan perkembangan demokrasi, maka pada masa yang akan datang gugatan-gugatan sejarah akan makin sering dilakukan. Kalau ini tidak disalurkan dan diberikan jawaban maka juga bisa mengancam integrasi bangsa. Karena itu, sepantasnya pemerintah mendukung dan mewujudkan Komisi Pelurusan Sejarah Indonesia, sebagaimana yang sering diwacanakan oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Komisi ini bersama-sama dengan lembaga terkait menyusun strategi untuk mengembalikan arsip-arsip sejarah yang ada di luar negeri, terutama yang ada di negeri Belanda. Selain itu Komisi Pelurusan sejarah juga menyusun strategi untuk mengumpulkan arsip-arsip sejarah yang masih ada di dalam negeri. Hal ini diharapkan memberikan jalan atau solusi dalam berbagai kontroversial sejarah pada masa yang akan datang.

*Wannofri Samry, Dosen Jurusan Sejarah Unand, Ph.D kandidat UKM, Malaysia, dan Direktur Pusat Studi Informasi, Dokumentasi dan Kesejarahan Universitas Andalas.

0 comments :

Post a Comment

Terima kasih atas komentar Anda...